Rabu, 17 Maret 2010

menjeritlah

Hanya bisa terdiam tatkala suara nyaring bak gasing di tengah gobi itu menghentak seolah hendak mengabarkan jerit pilu bahkan pada butir debu yang bisu.
Bukan tak ada alasan untuk membiarkanmu tengelam dalam lautan beku tanpa ada celah untuk mentari menghangatkanya.
Namun, ruang pijak kaki itu tak sekuat ketika kokoh raga yang disangganya. 
Rapuh... nyaris ambruk tanpa perlu menunggu hujan melapukkanya.

Kalaupun dulu terbangun dari besi berkilat, yang sedianya ketangguhan seorang penempa lah yang sanggup membawa dalam keelokan tempa, toh kini dia hanya sebuah besi dengan karat yang menutupi, dan hanya menunggu waktu menjadi serbuk tak berbentuk.

Menjeritlah..... 
meskipun tak mungkin terdengar dalam jengkal tautan mata.
Hanya bening mata yang telah tertoreh garis merah yang mengisyaratkanya
Hanya tajamnya jiwa yang mampu mengoyak tebalnya hijab yang kau pasangkan dengan senyum yang terus tersungging untuknya dan untuk mereka yang mungkin kau pun tak mengenalnya.
Meski tak bisa kau pungkiri.... remuk redam jiwa dalam guncangan kebimbangan, renyah tawa mu, riang suaramu dan lembut tutur katamu memalingkan anomali gelombang hati.

Lihatlah jemari ini.... dia yang selama ini menyeka air matamu...
Lihatlah lembah wajah ini.... dia yang selalu tergenang air matamu...
Lihatlah kedua bibir ini, dia yang selalu diantara  roja’ dan khauf mu
Dan Lihatlah....... 
kesetiaanya untuk tetap membisu
Lihatlah.... sejauh engkau bisa melihat
Dia..... dia.... dan dia... ternyata tetap sama...
Tetap diam dengan keindahanya
Tetap diam dalam gemilang mimpinya

Dan... aku pun akan pergi, andai kau tak meminta bahu ini.
Dan aku pun akan pergi, andai jemari ini tak bisa lagi menepis gerimis hati
Dan aku pun akan berlalu, jika bayangnya pun masih kau ikuti. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar